Sabtu, 12 Maret 2011

Sepasang Mata Yang Berkaca-Kaca

Kamila menarik napas dalam-dalam. Tas yang di cangklongkannya diturunkannya perlahan. Matanya memberi isyarat kepada Muhammad untuk mendorong pintu gerbang berwarna hitam yang masih tertutup itu.
“Assalamualaikum…,” Kamila berkata sambil memanggil Muhammad yang kelihatannya sudah mulai putus asa mendorong-dorong pintru gerbang.
Mungkin tidak ada siapa-siapa. Atau seisi rumah sedang tidur? Kereta senja yang Kamila tumpangi terlambat datang karena berhenti di setiap stasiun. Karenanya Muhammad menjadi rewel dan ingin cepat-cepat turun.
“Assalamualaikum …,” Kamila mengulangi salamnya. Sambil menunggu, ia membuka tas dan menyodorkan sebotol air mineral kecil yang diberi sedotan. Muhammad yang baru berusia dua tahun memang sedang senang-senangnya menyedot minuman menggunakan sedotan. Tingkahnya lucu bila sedang melakukan hal itu. Kamila sudah berpikir sejak dari rumah, pasti seisi rumah di Solo nanti ikut tertawa melihat tingkah laku Muhammad
“Assala....,”
“Siapa itu?” terdengar suara keras disentai dengan bunyi tongkat mengikuti langkah-langkah itu.
“Mbah…”Kamila tersenyum. Sepasang mata tua memandanginya dengan alis putih yang menyatu. Muhammad ribut minta gendong lagi. Rupanya ia merasa kurang jelas memandang lewat celah jeruji besi.
“Semua pergi. Tidak ada orang.” Katanya.

Untuk sementara Kamila bingung. Tapi kemudian ia tersadar ketika terdengar suara Ibu yang tiba-tiba muncul sambil menggelengkan kepala. “Lewat pintu belakang,” ujar Ibu sambil melambaikan tangan pada Muhammad.
Muhammad menyembunyikan
kepalanya di belakang Kamila.
“Permisi, Mbah ujar Kamila mengangguk pada Mbah.
Tidak ada tanggapan. Mbah hanya duduk di teras dengan pandangan mata menerawang.
****

“Sudah pikun....” Ibu berbisik perlahan di telinga Kamila.
Kamila memandang ke arah ruang tamu. Mbah sedang memandangi celengan ayam berwarna hijau.
“Kemana-mana celengan itu di bawa. Ibu menggelengkan kepalanya.
Seingat Kamila, sejak dulu memang Mbah Putrinya itu sangat perhitungan terhadap uang. Tiba-tiba terjadi keributan di ruang tamu. Kamila merasakan ketakutan pada Muhammad ketika anak itu memeluknya.
“Ada apa?”
“Biasa...,” Ibu seperti tidak perduli lalu melangkah ke arah dapur.
Sambil menggendong Muhammad, Kamila melangkah ke ruang tamu. Bapak mulai mematikan lampu yang baru saja dinyalakan Mbah. Kemudian celengan ayam berwarna hijau itu dibawa masuk ke dalam oleh Bapak.
“Uangku...”
Bapak seperti tidak perduli. Mbah menangis terisak-isak di ruang tamu.
***

“Mbah sudah pikun. Bikin susah. Kerjaannya bertengkar terus sama Bapak.”
Penjelasan Ibu di telpon yang terdengar kesal, membuat Kamila memutuskan untuk datang melihat keadaan yang sebenarnya.
Alhamdulillah, suaminya bersedia ditinggalkan selama seminggu.
Masih pagi. Mbah duduk di teras menyelonjorkan kakinya. Sepiring menemani Mbah. Bapak dan Ibu berada di belakang.
“Assalamualaikum…” Kamila mencium tangan Mbah. Abu mengikuti. Lalu mundur bersembunyi di punggung Laila.
“Siapa?”
“Getuknya enak, Mbah?”
Mbah memandangi. Mengangguk.
“Dimakan biar kenyang….”
Mbah menggeleng. Muhammad diam-diam mendekati mangkuk berisi getuk. Mengambilnya secuil. Lalu memasukkanya ke dalam mulut. Kamila menggelengkan kepalanya. Menunjuk piring di atas meja yang menjadi bagian Muhammad.
“Aku mau pulang.”
Ibu yang sedang menyapu halaman mengedikkan bahunya.
“Ke rumahku.”
Hening.
Muhammad ikut terdiam. Seperti menghayati keheningan.
“Inikan rumah anaknya Si
Mbah.”
Mbah menggeleng. “Kamu siapa? Di sini banyak yang tidak suka padaku.”
Kamila memandangi
wajah Mbah. Mata tua itu berkaca-kaca.
‘Memang begitu. Minta pulang terus. Kalau di rumahnya sendiri tidak akan ada yang ngurus. Makanya dibawa ke mari. Malah dikiranya kita cuma pembantu-pembantunya,” bisik Ibu di telinga Kamila.
“ini rumah anaknya Mbah. Saya cucunya Mbah dan yang ini Muhammad.
Buyutnya si Mbah.”
Mata tua itu memandangi Muhammad yang langsung menyalami tangan tua itu dan mengecupnya dengan mengeluarkan suara cukup keras. Mbah tersenyum.
Dan ekor matanya, Kamila melihat Bapak memandangi dengan wajah tegang.
Pagi-pagi sekali ribut-ribut itu
terjadi.
Azan subuh baru selesai
berbunyi. Kamila baru saja selesai mengambil air wudhu. Ia urung masuk ke dalam musholla. Bapak sibuk mengepel musholla sementara si Mbah duduk di pojok sambil mulutnya terus mengoceh.
“Kamar mandi di sana, bukan di sini.” Nada suara bapak seperti membentak.

“Aku mau pulang, ketempat anakku!” Mbah menanggapi dengan pandangan mata yang melotot.
Bapak diam. Pergi ke belakang. Semenit kemudian Ibu muncul mengajak Mbah ke kamar mandi. Mulut lbu juga tak henti-hentinya mengomel.
“Pantijompo?”
Ibu mengangguk. Bapak juga mengangguk meski kelihatan lemah sekali.
“Tapi kan…” “Ibadah kami di sini rusak, Kamila. Mbah bolak-balik buang air kecil di Musholla, ”jelas Ibu perlahan namun tegas.
Kamila kini memandangi Bapak. Mencarijawaban dari kekakuan wajah Bapak. Tapi tak nampak sesuatu apapun. Sejak dulu memang sulit sekali bagi Kamila untuk mengungkap gambaran di wajah Bapak. Bapak seperti misteri. Ia juga seolah menggenggam sebuah rahasia rapat-rapat.
“Pak...., mengasuh orang tua yang sudah pikun itu...kan juga bagian dari ibadah,” suara Kamila lirih sekali. Ia yakin Bapak mendengarnya. Dan ia berharap Bapak tersentuh mendengar kalimatnya.
Hening. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Aku mau pulang ke tempat anakku, Burhan....”
Suara Mbah tendengar dari dalam kamar yang dikunci Bapak dari luar. Lalu wajah Bapak berubah menjadi merah padam. Rahangnya
mengeras. “Biar saya yang bicara, Pak,” ujar Kamila mengambil inisiatif.
Bapak hanya diam. Ibu mengangguk.
“Biarlah beliau tinggal bersama kita…”
Suara Mas Ahmad kembali terngiang di
telinga Kamila ketika ia membereskan pakaian-pakaian Mbah Putri ke dalam tas besar yang akan dibawanya nanti.
“Biarlah Ibadah Bapak dan Ibu tidak terganggu. Kita cari kebaikan untuk semuanya. Buat si Mbah dan buat orang tuamu. Terkadang kita tidak tahu apa yang telah terjadi dimasa lalu. Jadi kita sering menghakimi,”tambah mas Ahmad bijak.“
Kaila tersenyum.
Aawalnya ia agak takut-takutbercerita apa yang sebenarnyaterjadi dirumah pada suaminya.Tapi akhirnya ,setelah ia tahu jalan ceritayang sesungguhnya ia mulaiberani mengungkapkannya.Tiadak ada yang salah dalam hal ini.selama ini ,dalam tahun-tahun yang terus berjalan ,Bapak terabaikan sebagai anak mbah.
“Aku tak lebih dari sekedar anak buangan!”getir suara bapak terdengarketika kemarin,tanpa sengaja,Kaila mendengar bapak dan ibu berbicara didapur.Bapak juga terlihat menunjukan pada ibu bekas pukulan mbah ditubuhnya saat ia masih kecil.Bekas luka yang tak kunjung hilang.Mungkin sama seperti luka batin Bapak yang tidak jua tersembuhkan sampai sekarang.
Dari pembicaran tersembunyi itu jugalah akhirnya kamila memahami bahwa selama ini Bapak merasa cemburu pada pak Le’ Burhan .Adik bapak yang satu itu adalah sosok yang paling tidak peduli pada mbah ,tapi sebaliknya,namanyalah yang selalu diingat oleh mbah.
“Bapak rela Mbah saya bawa?”
Bapak mengangguk. Dari balik kaca matanya Kamila bisa melihat ada telaga yang dipaksa untuk tidak ke luar.
“Kalau Bapak mau, Bapak bisa datang kapan saja untuk menengok saya atau Mbah...”
“Aku mau diajak ke tempat Burhan, ya?” Mbah berkata penuh sukacita. Ia berjalan tenang di gandeng Muhammad. Kedua bola matanya bersinar. Kamila menghampiri Bapak. “Jangan salahkan siapa-siapa ya, Pak?” bisik Kamila di telinga Bapak. Bapak hanya mengangangguk.
Ketika taksi yang akan Kamila tumpangi datang, sejenak Kamila melihat ada kenaguan pada langkah kaki Bapak yang tengah mengarah mendekati Mbah. Namun tiba-tiba, Bapak seolah mendapat keberanian baru. Cepat, didekatinya Mbah dan diselipkannya tangannya pada lengan Mbah. Bapak menuntun Mbah!
Di sudut rumah, Ibu nampak terharu. Namun, yang tak terduga, Kamila dapat melihat mata Mbah kini nampak berkaca-kaca. “Maafkan saya, Bu. Insya Allah saya akan secepatnya menjemput Ibu.” Lirih suara Bapak terdengar di telinga Kamila.
Kamila memejamkan matanya. Ia yakin semua kesulitan pasti akan berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar